by : Muhary Wahyu Nurba
Kisah mengenai fadhilah sedekah berikut ini masyhur di antara pencari hikmah, yakni kisah Sya’ban ra, salah satu sahabat Rasulullah SAW:
Meskipun rumahnya terbilang paling jauh di antara para sahabat, ia tidak sekalipun tertinggal waktu shalat berjamaah. Karakternya tidak ada yang menonjol bila dibandingkan di antara para sahabat, selain dia memiliki kebiasaan untuk selalu mengambil posisi di pojok masjid, baik saat shalat berjamaah maupun i’tikaf. Kebiasaannya ini dipahami benar oleh Rasulullah SAW.
Pada suatu subuh, ketika sholat berjamaah akan dimulai, Rasulullah SAW tidak mendapati sosok sahabatnya itu. Rasulullah pun bertanya, ”Apakah ada yang melihat Sya’ban?” Hadirin terdiam.
Demi menunggu kehadiran Sya’ban, shalat Subuh pun ditunda sejenak. Namun setelah beberapa saat dan karena khawatir waktu Subuh terlewatkan, Rasulullah SAW memutuskan untuk segera melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Hingga pelaksanaan shalat selesai, Sya’ban belum juga tampak. Nabiullah SAW bertanya lagi, “Apakah ada yang tahu kabar Sya’ban?” Lagi-lagi, tidak ada yang menjawab. “Apa ada yang tahu dimana rumah Sya’ban?” Akhirnya seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia tahu dimana rumahnya.
Inilah konsep dasar berjamaah. Berjamaah artinya bersama sama, saling memahami satu sama lain, saling menghormati, saling mengisi. Jika salah seorang berhalangan hadir shalat berjamaah, sepatutnya dicari tahu untuk memastikan keberadaan atau kesehatannya. Jika ternyata sakit atau terkena musibah, maka jamaah akan bersama-sama meringankan bebannya. Dengan demikian, ikatan batin atau silaturahmi akan tetap terjaga.
Rasulullah dan para sahabat akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki, menempuh perjalanan sekira tiga jam, hingga akhirnya tiba di rumah Sya’ban. Beliau mengucapkan salam, dan keluarlah seorang wanita sambil menjawab salam.
“Benarkah ini rumah Sya’ban?” tanya Rasulullah SAW.
“Benar, ini rumah Sya’ban. Saya adalah istrinya,” jawab wanita tersebut.
“Bolehkah kami menemuinya? Dia tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini,” ucap Rasulullah SAW.
Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban ra menjawab “Beliau telah meninggal tadi pagi.”
“Inna lilahi wa inna ilaihi roji’uun,” jawab semuanya.
“Ya Rasulullah,” lanjut istri Sya’ban, “ada sesuatu yang masih menjadi tanda tanya bagi kami. Menjelang kematiannya, ia berteriak tiga kali, dan di setiap teriakannya disertai satu kalimat yang kami tidak pahami maksudnya.”
“Apa saja yang diucapkannya?” tanya Rasulullah SAW.
“Pada setiap teriakannya, ia mengucapkan kalimat, ‘Kenapa tidak lebih jauh!’ ’Kenapa tidak yang baru!’ dan ‘Kenapa tidak semuanya!'” jawab istri Sya’ban.
Rasulullah SAW lalu membacakan surah Qaaf ayat ke 22: Laqad kunta fii gaflatim min haażaa fa kasyafnaa ‘angka giṭaa`aka fa baṣharukal-yauma ḥadiid.
Artinya: Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah SWT menayangkan ulang seluruh kisah hidup Sya’ban menjelang kematiannya. Tidak ada yang bisa menyaksikannya kecuali Sya’ban ra sendiri. Dalam pandangan tajam yang telah disingkapkan itu, Sya’ban ra melihat seluruh perjalannnya pergi dan pulang dari masjid untuk shalat berjamaah lima waktu, termasuk diperlihatkan pahala yang diperoleh dari setiap langkahnya menuju ke masjid. Karena itulah Sya’ban berteriak, ”Kenapa tidak lebih jauh!”
Suatu ketika, Sya’ban ra hendak berangkat shalat berjamaah, angin dingin serasa menggeramus tulang. Ia kembali ke rumah dan mengambil tambahan pakaian. Sya’ban ra mengenakan dua lapis pakaian, yang baru di bagian dalam dan yang lusuh di luar.
Dalam perjalanan menuju masjid, ia menemukan seseorang terbaring kedinginan dalam kondisi memprihatinkan. Sya’ban ra tergerak hatinya dan segera melepas pakaian luarnya yang lusuh, lalu memakaikannya kepada orang tersebut. Kemudian, ia pun memapahnya ke masjid agar dapat shalat Subuh berjamaah.
Dengan amalan itu, Sya’ban ra diperlihatkan indahnya surga sebagai balasan karena merelakan pakaian lusuhnya kepada orang tersebut. Maka, ia kembali berteriak menyesal, “Kenapa bukan yang baru!”
Juga pernah suatu ketika seorang pengemis muncul di depan pintu Sya’ban dan meminta apa yang ada di tangannya. Pengemis itu mengaku sudah tiga hari perutnya tidak makan. Mendengar hal itu, Sya’ban ra pun iba dan segera membagi roti tersebut dengan ukuran sama besarnya lalu makan mereka bersama-sama. Ketika Allah SWT mempertontonkan balasan dari amalannya tersebut berupa keindahan surga, maka Sya’ban kembali berteriak, “Kenapa tidak semuanya!” Andai dia berikan semua, pasti dia akan mendapat tempat di surga yang jauh lebih indah. Sya’ban menyesal dan sedih sebab dalam beramal dia belum sampai pada puncak amalan terbaik.
Kita sebagai ummat muslim sepatutnya bisa mencontoh sikap dermawan Sya’ban. Mari kita berlomba mengerjakan amal kebajikan, memaksimalkan seluruh potensi ilahiah dalam diri kita, menginspirasi dengan ilmu atau membantu dengan harta. Rasulullah SAW bersabda, “Bersedekahlah saat kamu sedang sehat, sangat menyukai harta benda, mengharapkan hidup (yang panjang), dan takut miskin.”
Sedekah dengan cara membantu fakir miskin, sedekah kepada tetangga, mengalirkan air, memberi makan hewan, atau memelihara dan membesarkan anak yatim hingga semua kebutuhannya tercukupi.
Fadhilah sedekah itu sebagai pembersih harta, tidak mengurangi justru semakin bertambah dan terus bertambah. Sedekah juga bisa menjadi asbab sembuh dari sakit, terhindar dari musibah. Secara psikologis sikap kedemawanan akan memberikan rasa damai dan kebahagiaan serta menumbuhkan perilaku positif dalam keseharian. Justru di bulan mulia inilah kita diminta merenungi arti puasa, arti lapar yang sesungguhnya. Bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi sebagai upaya untuk mengkalibrasi hati sehingga kepekaan kita terhadap sesama manusia, ke semua mahluk, hidup kembali.
Saat ini, Palestina porak poranda akibat perang. Sebagian besar bangunan rusak dihantam bom, sumber air dimusnahkan, logistik sangat sangat terbatas. Di sinilah kita diuji, apakah kita turut berdiri membela hak hak mereka, mengirimkan doa, menyisihkan sebagian rezeki kita agar anak anak di Gaza terhindar dari kelaparan. Ataukah sebaliknya, kita hanya jadi penonton dan melewatkannya begitu saja karena menganggapnya sebagai konsumsi berita biasa. Oh jangan lupakan Gaza. Turutlah jadi saksi atas kemerdekaan Palestina kelak!
Demikianlah. Semoga dengan tuturan kisah sahabat rasulullah SAW ini, bisa meneteskan kemurnian hikmah ke dalam hati kita. Semoga kita termasuk orang orang yang merugi sebagaimana yang digambarkan dalam al Quran, surah at Taubah ayat 35: Yauma yuhmaa ‘alaihaa fî naari jahannama fa tukwaa bihaa, jibaahuhum wa junuubuhum wa dzuhuuruhum, haadzaa maa kanaztum li’anfusikum fa dzaaquu ma kuntum taknizuun.
Artinya: (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”