Oleh : Ilyas Yasin
Kemajuan suatu peradaban biasanya tidak hanya ditandai oleh kecanggihan teknologi akan tapi juga dari perkembangan dunia seninya. Ya seni musik, seni tari, seni peran, seni lukis, seni ukir dan lainnya. Sebagai bagian dari rasa, maka seni di samping rasio adalah sesuatu yang melekat dalam potensi kedirian manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Dalam kajian filsafat, manusia memiliki tiga aspek yakni logika, etika dan estetika. Logika melahirkan sains dan teknologi, etika melahirkan tatakrama dan kesopanan, sedangkan estetika melahirkan seni dan keindahan.
Oleh sebagian orang, aspek agama dimasukkan ke dalam aspek terakhir ini. Alasannya, agama tepatnya spiritualitas juga mengajarkan dan berfungsi melatih kepekaan rasa dan kehalusan budi. Maka, agama yang terlalu menonjolkan aspek hukum misalnya, cenderung menjadi kaku bahkan menjadi pemicu kekerasan baik kekerasan konseptual maupun praksis. Dalam Islam sendiri, ketegangan doktrinal antara agama dan seni tersebut masih terus berlangsung. Sebagian orang masih mempertentangkan antara agama dengan seni, selain pengecualian kecil misalnya pada seni tilawah (melagukan) al-Quran atau kasidahan/nasyid.
Kendati idealnya aspek rasa itu harus sejajar dengan aspek rasio, antara pengolahan rasa dan kecerdasan rasio, faktanya seni masih menjadi barang ‘mewah’ terutama di negara-negara dunia ketiga. Penghargaan terhadap dunia seni dan seniman masih rendah. Karena tidak memiliki efek secara langsung terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat maka kegiatan berkesenian menjadi sesuatu yang tidak begitu dihargai.
Rendahnya apresiasi itu bisa dengan mudah dilihat baik pada masyarakat, pemerintah atau berbagai pemangku kepentingan lainnya. Aktivitas berkesenian kalah pamor dari yang lainnya. Pilihan hidup untuk mengabdi kepada kesenian juga dianggap tidak popular, bahkan dianggap ‘gila’.
Karena itu di lembaga-lembaga penididikan (sekolah dan universitas), aktivitas berkesenian khususnya seni teater tidak begitu popular dan karenanya perkembangannya memprihatinkan. Bidang ini biasanya kalah popular dibandingkan bidang olahraga, sains atau seni musik yang dianggap lebih ‘gaul’ dan trendi. Pembangunan kesenian relatif ditelantarkan. Para pelaku kesenian tidak hanya kurang dihargai, malah kadang dilecehkan. Dalam film “Dua Hati Satu Cinta” digambarkan, begitu mengetahui Ochid—yang diperankan Reza Rahardian—cowok yang naksir anak gadisnya—adalah sastrawan, sang ayah dengan sinis berkata “Wah, saya baru tahu kalau Chairil Anwar masih hidup”.
Meski sering diabaikan dan dinistakan, nyatanya tetap saja ada orang yang mau mengabdikan hidupnya di jalan ini. Kendati hanya bermodalkan kekuatan kata-kata, faktanya kekuatan kritis seniman dan karya seni sanggup menggetarkan singgasana kekuasaan. Dalam banyak hal seni mampu merepresentasikan suasana kebatinan mereka yang tertindas secara struktural, atau mereka yang terpapar oleh peluru dan bedil sang penguasa. Seni mampu mendorong transformasi sosial di masyarakatnya.
Di kampus tempat saya bekerja, saya sering menemukan bakat-bakat terpendam di bidang seni dan sastra itu baik dalam teater maupun kemampuan menulis cerpen dan puisi. Sayangnya, potensi-potensi semacam ini belum maksimal diberdayakan karena berbagai keterbatasan baik pelatih, tempat latihan, apresiasi, kebijakan maupun dukungan kelembagaan. Seberapapun hebatnya bakat-bakat itu, tanpa sentuhan sang mentor misalnya, tentu tidak akan maksimal perkembangannya.
Begitu pula ketiadaan gedung kesenian jelas akan menghambat pengembangan seni tersebut. Padahal potensi seni tersebut cukup menggembirakan. Keberhasilan teater “Bengkel Sastra” SMAN 1 Dompu dalam ajang kompetisi teater remaja nusantara di Yogyakarta bulan lalu adalah bukti dari potensi itu. Hal semacam itu seharusnya menjadi momentum dalam mendukung kebangkitan dunia seni dan sastra di daerah. Dengan segenap potensi itu maka daerah ini sejatinya bisa seperti Madura atau Sumatera Barat yang kaya dengan sastrawan dan penulis hebat.
Ayo, mari dukung perkembangan dunia seni di daerah!