Banyak yang menilai, diantaranya pengamat politik Edward Aspinal dari Australia, bahwa kualitas demokrasi di Indonesia cenderung merosot sejak 2015 ke atas. Indikatornya ada dua yakni kecenderungan politik transaksional dan menguatnya politik identitas dalam kontestasi elektoral. Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 adalah puncak penggunaan politik identitas yang berlangsung sangat keras.
Kendati fenomena tersebut merupakan bagian dari kebangkitan era post truth dan populisme global, tapi jelas hal tersebut mengancam kelangsungan demokrasi bahkan menimbulkan prahara bangsa. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk potensial masuk ke dalam jurang kehancuran ini.
Ada dua hal yang perlu dicermati dari politik identitasini. Pertama, bahwa politik identitas tidak melulu mengacu kepada penggunaan sentimen agama atau kesukuan tapi kepada setiap upaya politisasi identitas apapun, termasuk penyalahgunaan identitas kebangsaan dan ideologi.
Dalam hal ini politisasi isu keagamaan atau kebangsaan untuk menyerang lawan politik sama-sama buruk. Demikian pula, mustahil menghilangkan sama sekali penggunaan politik identitas dalam kontestasi elektoral. Bagi kelompok tertentu penggunaan sentimen identitas adalah bagian dari strategi demokrasi untuk mendapatkan efek elektoral. Sepanjang dalam dosis yang wajar maka penggunaan politik identitas, sebagai konsekuensi demokrasi, sejatinya tidak bermasalah.
Sementara politik transaksional akan menggerus keluhuran demokrasi dari demokrasi substantif menjadi demokrasi procedural atau, dalam istilah Gus Dur, “demokrasi seolah-olah”. Politik transaksional tidak hanya melahirkan oligarki dan monopoli ekonomi tapi juga berpotensi menimbulkan defisit bahkan ketidakpercayaan (destrust) terhadap demokrasi.
Jika ini terjadi tentu akan mengancam kelangsungan demokrasi karena demokrasi kehilangan legitimasi moral di mata publik. Efek selanjutnya adalah berkurangnya tingkat partisipasi publik baik dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu, pemberian hak suara maupun partisipasi pembangunan secara keseluruhan.
Politik transaksional sejatinya tidak semata-mata berdimensi ekonomi tapi juga berkaitan dengan masalah moralitas dan nilai yang dianut. Karena itu kita harus terus memperjuangkan politik gagasan, politik kemaslahatan atau politik yang ditegakkan di atas basis nilai-nilai dan moralitas.
Jika politik transaksional ini dipandang sebagai budaya maka cara melawan praktik tersebut juga harus dilakukan secara budaya. Cara melawan politik transaksional antara lain dengan melakukan edukasi dan advokasi publik, gerakan moral maupun dengan beberapa best practices di masyarakat yang menolak politik transaksional.
Politik transaksional dapat bersumber dari politik mahar, lemahnya penegakkan hukum maupun sikap permisif masyarakat yang memandang politik transaksional sebagai ‘kenormalan’. “Normalisasi” terhadap setiap kejahatan (korupsi, KDRT, kekerasan seksual dan lainnya) adalah kejahatan itu sendiri.
Pemilu berkualitas, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraannya, tidak dapat diserahkan kepada penyelenggara semata tapi harus melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan lainnya untuk membantu melakukan pengawasan baik dari pers, LSM, perguruan tinggi, kelompok masyarakat sipil dan lainnya.
Di sisi lain kita juga berkepentingan terhadap penyelenggara Pemilu yang independen dan berkualitas, karena demokrasi berkualitas juga turut dipengaruhi oleh proses, tahapan dan penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas pula.
Harapannya Pemilu sebagai sarana pencapaian cita-cita demokrasi, tentu tidak hanya sekadar siklus mekanisme pergantian elite politik tapi juga diharapkan sebagai mekanisme rekrutmen kepemimpinan berkualitas dan kredibel di masa akan datang.
Pemilu dan demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial maupun mendistribusikan keadilan. Pelaksanaan demokrasi purba ala Pemilu 2019 tidak boleh terulang lagi karena menimbulkan risiko terlalu besar bagi bangsa ini.
Semoga Pemilu 2024 seluruh elemen bangsa ini harus memiliki komitmen yang sama untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini di atas segalanya, termasuk sekadar perebutan kekuasaan semata.**