DOMPU, MATITINEWS.COM – Berkembang informasi di kalangan masyarakat Kabupaten Dompu bahwa diduga seringkali terjadi Praktek jual beli putusan perkara di Pengadilan Negeri (PN) setempat.
Konon, untuk mendapatkan putusan yang menguntungkan, para pihak yang hendak mencari keadilan di PN Dompu harus terlebih dahulu mempersiapkan uang dengan nilai tertentu sesuai yang ditetapkan oleh oknum Hakim. Akibat kondisi tersebut, ada anekdot yang menyebutkan bahwa, kalau tidak punya uang jangan berharap keadilan dapat diperoleh di PN Dompu.
Isu ini terkuak ketika Majelis Hakim yang memutuskan perkara nomor 34/Pdt-G/2021/PN Dpu, dimana telah memenangkan penggugat yang hanya bermodalkan nama saat pembagian lahan pada sekitar tahun 1985 – 1986.
Padahal selama proses sidang terungkap bahwa lahan tersebut sudah dijual ke pihak lain sebagaimana dibuktikan dengan kwitansi jual beli yang ditanda tangani oleh para penggugat. sehingga diterbitkan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas nama Muhdar Mansyur.
Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Suba’i, yang dikonfirmasi melalui Humas setempat, Angga Wahyu Perdana menyebutkan, PN bekerja untuk memberikan keadilan hukum bagi masyarakat yang mencari keadilan karena hukum itu sendiri buat masyarakat.
“Dalam hal ini kami menyadari bahwa kami tidak bisa memberikan kepuasan kepada ke dua belah pihak yang berperkara. Kita gak bisa memberikan keadilan ke seluruh pihak”, ujarnya.
Dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Dompu, Angga mengakui adanya pihak yang tidak suka sehingga kemungkinan adanya pendapat orang yang bermunculan. “Kalau memang ada, laporkan, ada Siwas ada Bawas kalau di Mahkamah agung secara umum”, terangnya.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait putusan perdata yang terkadang Majelis hakim mengabaikan bukti kepemilikan dan bukti proses jual beli, Angga mengatakan bahwa, majelis hakim biasanya sudah melalui pertimbangan karena sudah menerapkan kepastian hukum dań kemanfaatan hukum.
Adapun pertimbangan mengenai bukti dan lain – lain itu merupakan pendapat Majlis hakim, ada asas yang menyebutkan bahwa putusan majelis hakim harus dianggap benar sampai ada yang membatalkannya.
“seandainya para pihak gak puas dengan keputusan majelis hakim yang kemudian berasumsi begini begitu. Masih panjang perjalan perkara itu, jadi gak selesai di tingkat pertama saja”, urainya.
Untuk itulah lanjut Angga, dalam proses peradilan itu ada proses hukum lanjutan melalui tahap Banding, Kasasi sampai pada tahap peninjauan kembali. (Idin)